Jumat, 21 Oktober 2016

RUMAH BARU







Hai, bagi yang sering mengikuti blog saya ini, saat ini saya sudah berganti platform dan aktif menulis di rumah baru saya  ajheris.com

So, untuk selanjutnya bisa mengikuti tulisan tulisan saya di alamat di atas ya.


Salam


ajheris

Mora, Dalarna
Swedia

Kamis, 25 Agustus 2016

JALAN JALAN ke BAGIAN UTARA SWEDIA (PART 5) : MELIHAT PAVILIUN THAILAND DAN AIR TERJUN MATI di RAGUNDA.

Ahaaa!!
Akhirnya sampai juga di bagian terakhir edisi Jalan Jalan ke Bagian Utara Swedia. Uda kaya sinetron aja, ampe part 5 *Uhuk*
Hmmmm...sebenarnya uda mulai malas dan capek...hahahahha. Tapi ga tau kenapa, rasanya kalau tidak menulis di blog kok ya ada yang kurang. Langsung kangen. Dan memang gue sudah bertekat harus merampungkannya secepat mungkin. Takut kelupaan.
Meskipun yang ditulis bukan sesuatu yang luar biasa banget, tapi yang namanya jalan jalan, apalagi tempatnya baru pertama kali dikunjungi,  rasanya sayang aja untuk tidak diceritakan.
 
Tempat wisata kali ini lumayan mampu membuat gue terperangah!
Jujur mak, gue baru tau kalau Thailand mempunyai bangunan mirip istana di Swedia. Persis seperti The Royal Palace di kota Bangkok. Nah, yang begini ini yang unik. Agak langka menurut gue.
 
  
Bahkan suami gue pun tadinya tidak tau, kalau bukan karena melihat tulisan di papan rambu lalu lintas. Apalagi waktu itu sudah di atas pukul 5 sore. Namun  berhubung kami sekalian lewat, suami pun mengajak untuk singgah. Awalnya gue tidak begitu yakin dan sempat berpikir, sebegitu besarnya apresiasi pemerintah Swedia terhadap negara Thailand sampai rela membangun paviliun mirip istana?  Pasti ada alasannya. Penasaran banget pokoknya. Lebih tepatnya lagi gue jelesssss!!! Harusnya keraton juga dibangun dong. Hahahahha.

Dan rasa penasaran itu pun semakin bertambah, ketika jalanan menuju paviliun melewati jalan kecil yang kiri kanannya banyak pohon. Mirip hutan. Dan lumayan jauh dari jalan utama. Ini beneran ga sih, jangan jangan suami gue salah menafsirkan lagi.
Kalau pun benar, masa iya lokasinya di daerah sepi. Kenapa tidak dibangun di kota besar atau paling ga di tempat yang lumayan ramai dan gampang terlihat banyak orang. Sampai akhirnya gue pun melihat papan bertuliskan "Thailändsk Paviljong" atau Paviliun Thailand. 

Dan rasa penasaran tadi terjawab sudah, ketika melihat sebuah bangunan yang mirip banget dengan istana Thailand di Bangkok. Tidak terlalu besar. Tapi karena bangunan ini berdiri di sebuah area yang sangat luas, ibarat seorang ratu, paviliun terlihat sangat anggun dan cantik!
Bahkan cenderung magis. Mungkin karena saat itu situasi di sekitar Paviliun sangat sepi, sepanjang mata memandang, hanya tanah kosong ditumbuhi rumput hijau, dan beberapa bangunan rumah serta cafe. 
Berhubung kami datangnya sudah kesorean, loket sudah tutup. Dan sampai kami meninggalkan tempat ini,  gue belum mendapatkan jawaban yang pasti, mengapa Paviliun Thailand sampai dibangun di Utanede.

 

View di sekitar Paviliun. Hamparan tanah luas dan rumput hijaunya asri banget



Bangunan yang terlihat di sekitar Paviliun. Sepertinya cuma ada 3 atau 4 rumah saja
Ketika melewati jalan pulang, tiba tiba gue tertarik dengan sebuah bangunan dengan tulisan huruf Thailand di depan halamannya. Sepertinya bangunan ini terlewatkan oleh gue sebelumnya. Dan benar saja, ternyata bangunan museum kecil. Dan lagi lagi kami tidak bisa masuk ke dalam.

Museum kecil di jalan Chulalongkorn, Utenade

 
Dan ujung ujungnya Wikipedialah yang menjawab semua pertanyaan di kepala gue. 
Ceritanya, pembangunan Thailand Paviliun (King Chulalongkorn Memorial Building), berawal dari kunjungan raja Thailand bernama Chulalongkorn di tahun 1897 ke beberapa tempat di Swedia. Kunjungan yang tidak lain atas undangan raja Oscar (raja Swedia pada saat itu).
Undangan yang bertujuan untuk memperkenalkan budaya, keindahan alam dan sistem pengolahan kayu di negara Swedia pada masa itu. Dari sekian tempat yang dikunjungi oleh raja Chulalongkorn, ada beberapa desa yang mencuri perhatiannya. Sebut saja keindahan alam di sekitar desa Utanede dan keramahan serta antusias warga Bispgården menyambut kedatangannya. 
Sampai akhirnya limapuluh tahun setelah kunjungan tersebut, pemerintah kota Ragunda pun sepakat memberi nama jalan di desa Utanede dengan sebutan Chunglalokorn.

 

Cafe di sekitar Paviliun

 
Konon raja Thailand Chulalongkorn  yang berkunjung ke Utanede terpesona dengan keindahan alam desa ini.
Di tahun 1992, sekelompok penari Thailand mendengar bahwa ada jalan di sebuah desa Utanede bernama Chulalongkorn. Akibat penasaran mereka pun mengunjungi desa tersebut. Sesampainya di Utanede, mereka sangat senang karena berita itu benar adanya.
Dari sinilah kemudian muncul ide untuk membentuk sebuah yayasan Chulalongkorn, yang bekerja sama dengan pemerintah kota Ragunda untuk melakukan pembangunan paviliun sang raja. 

Pembangunan dimulai tahun 1997 dan selesai pada tahun 1998. Sekaligus memperingati ke 101 tahun kunjungan sang raja ke Ragunda. Pembangunan gedung paviliun diperkirakan memakan biaya sekitar 7 juta SEK dan untuk mempercantik bangunan gedung dan sekitarnya, termasuk mahkota paviliun yang berlapiskan emas, memakan biaya sekitar 3 juta SEK. Proyek dua negara ini melibatkan banyak pihak, baik itu kalangan pengusaha Thailand, warga Swedia, dan pemerintah kota Ragunda. Untuk bangunan paviliun dikerjakan langsung oleh tenaga ahli dari Swedia sedang untuk hiasan mahkota paviliun bergaya Thailand dikerjakan oleh warga yang sengaja didatangkan dari Thailand.


 
Gue tidak tahu, apakah cerita sejarah ini ada pengaruhnya terhadap Warga Thailand yang lumayan banyak di Swedia. Dan sebaliknya, warga Swedia pun sangat familiar dengan wisata Thailand. Yang pasti apapun itu, gue berterima kasih karena berkat warga Thailandlah gue bisa melengkapi bumbu asia di dapur gue. Hahahahahha.

 

 
Masih dari wilayah Ragunda, kami juga menyempatkan singgah ke sebuah tempat wisata yang lumayan unik bernama DÖDA FALLET (The Dead Fall).
Kenapa sampai disebut The Dead Fall, yang pasti ada ceritanya.
Berkisah dari Storforsen, air terjun  dengan kekuatan arus yang lumayan deras. Karena di masa lampau belum ada sarana transportasi angkutan yang memadai, maka segala batang kayu yang di tebang dari hutan dibawa melalui arus air, termasuk danau Ragunda.

 
Persoalan kemudian muncul ketika kayu kayu tersebut jatuh melalui aliran air yang deras, yang mengakibatkan kayu menjadi rusak.   
Kemudian atas permintaan perusahaan kayu pada masa itu, seorang kontraktor bernama Magnus Huss diminta untuk memperkecil resiko kerusakan kayu ketika berada di aliran arus air. Apa boleh buat, Magnus Huss lebih memilih jalan pintas dengan melakukan pekerjaan yang tidak terlalu ribet dan menguras tenaga. Sesimpel yang ada dipikiran beliau saat itu.
Daripada harus membangun kanal air yang baru, mending membendung  air danau di sisi barat sebelah air terjun. Dan Magnus hanya menahan air dengan tumbukan batu batu kerikil. Akibat dari ide gilanya yang tidak masuk akal inilah, air yang dia bendung meluap dan tumpah menggilas semua area pedesaan dan peternakan. Dan amazingnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Lagi lagi begitu yang bisa gue simpulkan, kurang pintar juga ngejelasinnya. Pokoknya air terjunnya mati deh. Hahahahha.

Kejadian ini terjadi di suatu malam tepatnya pada tanggal 6 Juni 1796. Dalam tempo kurang lebih 5 jam, air danau Ragunda menjadi kosong melompong dan otomatis mematikan aliran air  terjun. Air terjun seketika mati dalam waktu sekejap. Itulah sebabnya mengapa sampai sekarang kawasan di sekitar air terjun disebut sebagai The Dead Fall.
Dan akibat kegilaannya itu, Magnus Huss pun diberi julukan "VILD HUSSEN" atau "The Wild Huss".
Namun tidak semua orang membenci sang kontraktor ini, banyak juga yang mengucapkan terimakasih atas kegilaannya. Karena secara tidak langsung dengan kosongnya air danau Ragunda, membuat mereka memiliki lahan darat untuk pertanian dan peternakan yang lebih luas sekaligus memunculkan pemukiman baru.

Kawasan air terjun. Sudah tidak ada airnya.


 
Kami tidak lama di tempat ini, karena sudah malam, dan tentunya tidak bisa melihat lebih jelas ke bawah. Untungnya matahari masih bersinar lumayan terang.  
Foto pun tidak banyak yang bisa gue ambil. Cuma ada beberapa aja. Silahkan di Google atau LIHAT DI VIDEO INI. Tempatnya memang sangat menarik. Video bukan milik gue, sumber dari Yutube. Yang pasti tempat ini memang terkenal sebagai tujuan wisata di Ragunda.

Sampai kami meninggalkan The Dead Fall, gue masih ga habis pikir kalau daratan yang gue lihat, tadinya merupakan aliran danau Ragunda dan air terjun. Dan sekarang sudah dijadikan sebagai tempat pemukiman, bahkan rel kereta api pun sudah dibangun di sekitarnya.
Suami gue tak henti hentinya tertawa mengingat kekonyolan si kontraktor. "Apa yang ada di benak dia ketika melihat air danau tumpah ruah kemana mana?" Pertanyaan suami yang gue jawab dengan "Aku mulai ngantuk" hahahahhaha. Yang artinya kami harus segera tiba di hotel.


 
Demikianlah berbagi cerita liburan gue di bagian Utara Swedia. Liburan yang berkesan sampai gue niat banget menulisnya menjadi beberapa bagian. Tujuannya cuma satu, supaya yang ngebaca bisa tahu, tidak harus melancong ke negara lain pun, tempat tempat yang tidak jauh dari kita mampu membuat terkesima dan memiliki cerita unik. Tak terkecuali Swedia, keindahan alamnya mengurai sejuta cerita. Baik di bagian Selatan maupun Utara negara ini  selalu memberi hiburan tersendiri di setiap liburan gue. Semoga menjadi tulisan yang berguna!



Salam dari Mora,
Dalarna Swedia. 
 


Selanjutnya ajheris akan lebih aktif menulis di alamat blog yang baru dan bisa dikunjungi di : ajheris.com

Tetap ikuti tulisan gue ya, kali aja tar gue bagi bagi hadiah kecil sehubungan dengan tulisan gue. Doakan aja tiba tiba gue ga malas bagi bagi hadiahnya. Hahahaha.
 
 

Selasa, 23 Agustus 2016

JALAN JALAN ke BAGIAN UTARA SWEDIA (PART 4) : SOMMARHAGEN FRÖSÖ




Sebelumnya gue sudah bercerita tentang keseruan liburan summer kami (gue dan suami) ke sebuah tempat wisata, tepatnya MUSEUM UDARA JAMTLI  yang terletak di kota Östersund.
Sebelum mengunjungi Jamtli, sebenarnya kami lebih dulu singgah ke Frösö, yang letaknya tidak begitu jauh dari Östersund, Jämtland. Fröso adalah sebuah pulau yang lumayan besar yang berada di danau Storsjön. Östersund dan Frösö hanya berjarak oleh sebuah jembatan saja.


 
Kunjungan ke Frösö, tak lain ingin melihat sebuah museum bernama Sommarhagen, tepatnya sebuah rumah tinggal yang dulunya merupakan tempat kediaman seorang komponis musik terkenal Swedia bernama Wihelm Peterson-Bergers.
Walaupun terbilang terkenal, tapi gue tidak pernah mendengar nama sang komponis sebelumnya. Meskipun demikian, bukan berarti gue apatis dan tidak mau mengunjungi tempat seperti ini. Kalau ada kesempatan, tidak ada salahnya didatangi. Yang namanya tokoh terkenal, pasti rumah kediamannya selalu enak untuk dilihat. Lebih touching dan lebih detail.  Apalagi kalau yang dimasuki rumah tokoh idola. Rasanya seperti mimpi. Bisa menginjak rumah dan melihat barang barangnya, bahkan sampai barang yang sangat pribadi sekalipun. Hal ini sudah gue rasakan ketika memasuki rumah Hans Christian Andersen di Odense,Denmark. Rasanya excited banget.
Makanya ketika suami mengajak untuk melihat Sommarhagen, gue langsung mengiyakan saja.
 
 
Sebelum sampai ke Sommarhagen, terlebih dahulu kami singgah ke sebuah gereja kecil di Frösö. Gereja kecil yang tampak sederhana dari luar tapi lumayan megah di dalam.



Megahnya memang tidak seperti gereja gereja besar kebanyakan. Namun ketika gereja kecil ini memiliki altar dengan patung besar berlapis kuning emas (layaknya sebuah gereja besar), menjadikan gereja terlihat megah untuk ukurannya yang relatif kecil.



Gereja Frösö (Froso Church) berumur kurang lebih 800 tahun. Dan pernah mengalami kebakaran serta renovasi berkali kali. Yang gue bingung, hampir di setiap bangunan gereja yang pernah gue kunjungi, kebanyakan selalu pernah mengalami kebakaran hebat di masanya. Sepertinya faktor alam dan bangunan yang terbuat dari kayu menjadi salah satu pemicunya.
 
 

 
Jika melihat sekitar gereja, pertama sekali yang menarik perhatian adalah menara lonceng di sampingnya. Sebuah menara yang terbuat dari kayu. Unik!
Di dalam menara inilah lonceng gereja disimpan. Setiap relief kayu diukir mirip sisik ular. Bangunan menaranya pun sudah tua. Tapi tetap terlihat wah.

 


Menara gereja yang unik 
Gereja Frösö berdiri di sebuah kawasan landscape yang sangat menawan. View green nature dan birunya air danau Storsjön, membuatnya  mampu menarik perhatian para wisatawan yang datang. Apalagi untuk menikmati ini semua cukup datang dan tidak dipungut biaya. Free!
Bahkan gereja Frösö adalah salah satu gereja favorite yang banyak digunakan para pasangan untuk melakukan wedding ceremony. Mungkin karena bangunan gerejanya yang kecil dan berada di antara view alam yang sangat menawan, memberi kesan romantis.


View di sekitar gereja 
Selain itu, komponis Peterson pun dimakamkan di halaman sekitar gereja Frösö. Sehingga semakin lengkaplah membawa gereja ini menjadi salah satu tujuan wisata di Frösö. 



Makam komponis Peterson 
Pemakaman di sekitar gereja 
Ohya, ada satu cerita sejarah yang unik dari gereja Frösö. Dahulu kala, jemaat gereja suka melakukan perjalanan jauh menuju gereja di daerah lain, bahkan sampai ke negara Norwegia. Intinya perjalanan mereka ini seperti melatih kualitas keimanan kristen di masa itu. Berdoa, mengingat kebaikan Tuhan, dan jika sudah sampai di gereja yang dituju, maka mereka akan memberi stempel gereja ke sebuah kertas sebagai tanda sudah mengunjungi gereja tersebut.

Dan tradisi memberi stempel ini sepertinya tetap dijalankan di jaman modern, khususnya bagi para wisatawan, dengan membeli sebuah postcard gereja dan memberi cap stempel yang terdapat di kotak kecil  halaman gereja. Artinya wisatawan sudah pernah berkunjung ke gereja Frösö. Kurang lebih gitu deh.
 
Memberi stempel ke postcard gereja


Kotak stempel
Dari gereja Fröso kami menuju Sommarhagen, kawasan museum/rumah kediaman sang komponis Wihelm Peterson-Bergers. Menuju Sommarhagen layaknya menapaki jalanan di hutan. Banyak jejeran pohon. Tapi adem. 
Dan tidak salah dugaan gue, rumahnya menarik. Rumah kayu berwarna merah kecoklatan. View di sekitar rumah Peterson indah banget. Danau sampai bunga liar warna warni. Gue sukaaaa!!


 

Rumah Peterson
Tidak tahan dengan keindahan di luar, kami memutuskan untuk duduk di bangku kayu halaman, sambil menikmati softdrink dan cake dari cafe kecil di sekitar museum. Dan tentunya plus bonus landscape alam yang memanjakan mata.  


Nyantai di halaman depan museum
 
View di sekitar museum
Singkat cerita, setelah membeli tiket, kami pun masuk ke dalam museum. Gue dan suami masing-masing diberi sebuah headset dan alat audio visual. Melalui alat ini, kami bisa mengetahui penjelasan demi penjelasan di setiap sudut rumah komponis. Untuk bahasa bisa dipilih, Swedish dan English. Nanti pegawai museum akan memberi headset sesuai bahasa yang dipakai. 
Pengunjung tinggal mengarahkan audio ke titik-titik tertentu yang ada di dalam ruangan. Dan otomatis akan keluar kalimat penjelasannya. Misalnya kamar tidur sang komponis, ruang makan, ruang kerja, ruangan favorite beliau, dan sebagainya deh. 

Headset audio
Sommarhagen dibangun pada tahun 1913-1914. Awalnya ketika Peterson membeli kawasan Sommarhagen, beliau tidak memiliki cukup uang untuk melakukan renovasi total. Atas kebaikan sang ibu, yang rela menjual rumah demi mewujudkan keinginan sang anak, proses renovasi Sommarhagen pun tercapai. Sebagai bentuk apresiasinya, Peterson membuat ucapan terimakasih kepada sang ibu dalam bentuk tulisan di dinding ruangan utama museum ini. Rumah yang menjadi miliknya tapi dia persembahkan untuk ibunya.


Ruang utama
 
Piano
 
 


Foto Peterson
Museum Sommerhagen terdiri dari dua lantai. Lantai dasar memiliki ruang utama dan dapur. Sedangkan lantai dua sepertinya lebih kepada ruangan privacy. Ada ruangan santai, ruangan kerja, dan ruangan kamar. Masing-asing ruangan tertata sangat rapi dan bersih. Bahkan pispot yang biasa digunakan Peterson  pun masih ada. Diletakin di bawah tempat tidur. 
 

Telepon antik

Buku not balok

Ruangan kamar di lantai dua, ada pispot di bawah tempat tidur. Hihihi


Ruangan kerja Peterson merupakan ruangan favorit beliau. Ruangan kerja dengan jendela langsung menghadap ke danau. View dari jendela memang sangat bagus. Konon Peterson mengerjakan karya musiknya di ruangan ini sambil sesekali melihat ke luar jendela. Ruangan kerja dengan isi yang lengkap. Mulai dari koleksi buku yang tersusun rapi di lemari, sepasang alat tenis, pena, cangkir kopi, foto beliau bahkan korek apinya pun masih ada. 

Ruangan kerja Peterson

Peralatan tenis


Barang barang yang masih terawat di meja kerja Perterson. Korek api dan cerutunya masih ada

Jendela di ruang kerja Peterson. Viewnya bagus.
 

Peterson sangat menyukai nature, terutama bunga bunga liar yang tumbuh di sekitar Sommarhagen. Akibat kecintaannya terhadap bunga liar, beliau sempat berpesan, tidak boleh ada tanaman bunga lain yang sengaja di tanam atau diletakkan di sekitar Sommarhagen, kecuali bunga liar yang tumbuh alami. Bahkan sang komponis pun menciptakan sebuah karya musiknya yang terkenal berjudul 'bunga di Frösö". 
Tak heran jika di sekitar Sommarhagen nihil tanaman bunga. Kecuali bunga bunga liar yang memang tumbuh secara alami. 


Buku tamu

Bunga liar di sekitar




View dari Sommarhagen 
Biasanya Peterson menempati Sommarhagen di saat musim panas saja, semacam summer house beliaulah. Hal ini dilakukan beliau sejak tahun 1914 sampai dengan tahun 1930. Kemudian pada tahun 1942, beliau pun pindah dan menjadikan Sommarhagen sebagai hunian permanen beliau. Bahkan sampai dia meninggal dunia dan dimakamkan di gereja Frösö.



Alat ini dipakai untuk memanggil pelayan rumah. Kalau Peterson menekan tombol, maka pelayan akan melihat dari kotak kotak kecil itu, posisi Peterson di ruangan mana.

Koper antik

Dapur


Konon Peterson sangat bangga dengan kompor di dapur ini. Beliau terinspirasi dari penulis Selma Lagerlof yang memang lebih dulu memiliki kompor gas seperti ini
Sommarhagen merupakan tempat wisata terpopuler di saat musim panas di Frösö. Bukan hanya sebagai museum, konon di sekitar tempat ini sering juga dilakukan pertunjukan konser musim panas.
 


Sekitar Frösö
 




 
See you in my next story
 
 
 
Salam dari Mora
Dalarna Swedia