Rabu, 13 April 2016

TIGA HARI DI GRÖVELSJÖN ÄLVDALEN

 
Pernah membayangkan ngejalani hidup sehari hari dengan segala keterbatasan? Mundur ke masa lampau! 
Tidak ada listrik, tidak ada air ledeng, tidak ada toilet untuk mandi, toilet terpisah dari rumah, tidak ada kulkas. Dan satu lagi, tidak bisa menggunakan Smartphone dengan suka suka!
Kalau gue.......Sudahhhhhhh!
Bagaimana rasanya? Campur aduk dong seperti gado gado.  Tiga hari dua malam hidup dengan segala keterbatasan yang sangat minim fasilitas vital. Dan hebatnya kehidupan seperti ini gue rasakan di sebuah negara maju seperti Swedia.
 
Rencananya, gue dan suami serta seorang tetangga akan mengisi weekend di sebuah kawasan pegunungan. Tujuan utama kami adalah hendak bermain snowscooter. Jauh hari suami sudah memberitahu jika penginapan yang akan kami singgahi nanti, layaknya seperti Summer House di sekitar desa tempat tinggal gue. Minim Fasilitas.
Tentu saja gue tidak sulit membayangkan bentuk penginapan seperti ini. 
Pastilah berada di antara hutan pinus, model rumah tua jaman bahela, dan tidak ada toilet. Dan yang lebih menyeramkan lagi, dudukan closet di toilet  terbuat dari kayu dengan sebuah lubang besar, yang dengan mata dicipitkan pun bisa dengan jelas melihat pemandangan di bawah lubang. Lubang yang berisi tumpukan karung. Yang ketika orang selesai pup, cukup menyiramnya dengan sejenis tepung anti bau berwarna putih.
Anti bau namun tetaplah bau menurut hidung gue. Hihihihi. 
Tentu saja sistem closet seperti ini, merupakan jenis closet di jaman ratusan tahun lalu, tidak ada saluran airnya. Kotoran bersih sendiri di makan alam. Yuhuiiii.
Intinya, bayangan penginapan dengan bentuk seperti itu sudah ada dalam pikiran gue.
Namun nikmatnya bermain snowscooter di pegunungan bersalju, mengalahkan semuanya. Imajinasi tentang penginapan yang minim fasilitas tadi gue singkirkan. Istilahnya bodoh amat lah. Lihat di lokasi aja tar.
 
Singkat cerita, kami tiba di Grövelsjön, Älvdalen. Daerah ini merupakan bagian dari propinsi Dalarna, Swedia. Daerah wisata yang dikenal memiliki kawasan pegunungan yang sangat ideal untuk olahraga ski dan snowscooter.
Dari jalan utama, gue sudah melihat bangunan rumah diantara kayu pinus yang menjulang tinggi. Bangunan rumah berwarna putih keabu-abuan.
Ini penginapannya? tanya gue ke suami, yang langsung di jawab iyesssss.
Tuh, bener kan, lokasinya berada di antara kayu pinus. Namun, ada yang sedikit meleset dari apa yang gue bayangkan sebelumnya. 
Model penginapannya tidak sehoror yang gue pikirkan. Melainkan bangunan baru yang jauh dari kesan kusam dan tidak fresh. 
Dan tadinya gue pikir, banyak penginapan lain di sekitar penginapan, ternyata tidak. Sepertinya penginapan satu satunya.  
So dipastikan kami menginap sendirian di hutan ini. Takut? kaga lah. Beneran. Kan gue ga sendirian. Dan juga, jarak antara penginapan ke jalan utama sangat dekat. Suara mobil yang lewat bisa terdengar dan terlihat dari penginapan. Bahkan, ketika suami dan tetangga yang ikut bersama kami pergi melihat lokasi di sekitar penginapan, gue cuma sendirian. Gue malah sempat tertidur dan pas terbangun sudah mulai gelap. Gue juga salut kenapa gue ga takut. Paling gue pasang lilin aja waktu itu. Emang sih ga lama suami dan tetangga pulang. 

Pertama masuk ke dalam penginapan, gue langsung jatuh cintahhhhh sampai pakai hhhhh.
Tidak tau kenapa, mungkin karena penginapannya tidak terlalu luas. Barang barang di dalam juga ga terlalu banyak. Dan dindingnya tidak pakai wallpapper (asli dari kayu). Ada tungku api untuk pemanas ruangan serta dapur mungil.  Sederhana tapi nyaman. Jadi berasa di rumah pedesaan seperti di film film. Apalagi lingkungan di sekitar sangat tenang, maki klop deh.  Adem banget rasanya. Berada di alam/nature lengkap dengan suara kicauan burung yang jelas terdengar dari rimbunnya pohon di sekitar. 

Kayu bakar untuk pemanas

 
Meja makan plus lilin dan lampu
Nah, yang sedikit menggangu gue hanyalah keterbatasan fasilitas di penginapan ini. Minim fasilitas vital. Yang konon, memang sengaja dibangun dengan konsep Back To The Basic.  Nah, mental gue yang belum sampai ke level ini. Mental yang sudah terbiasa dengan segala kemudahan. Apa apa lengkap. Mudah di dapat. Bahkan kadang kalau mau jujur menggunakannya sedikit over dan boros. 
Mental yang sedikit berbanding terbalik dengan suami dan tetangga gue. Yang mana dalam anggapan mereka,  bisa menikmati kehidupan jaman dahulu kala  di tengah nature seperti ini, merupakan hiburan tersendiri yang nikmatnya tiada tara.
 
Asal tau aja, bukan hanya suami dan tetangga gue, melainkan masih banyak masyarakat pribumi Swedia yang menyukai dan kadang kadang ingin tetap bisa merasakan kehidupan seperti ini. Jauh dari kehidupan modern dan praktis, serta kehidupan yang kebanyakan di perbudak mesin dan alat canggih. Merindukan kehidupan yang bisa gue sebut "susah".
 
Susah karena memakai air terbatas. Tidak ada air ledeng. Air harus di isi di dalam drum besar, yang lokasi pengambilan air bisa dibilang butuh mobil untuk membawanya kembali ke penginapan. Karena tidak mungkin menenteng drum air sambil berjalan. Berat!
Tidak ada yang namanya muter kran air sesuka hati sampai air melimpah ruah deras. Lupakan itu di penginapan ini.
 
Susah, karena listrik di penginapan ini hanya mengandalkan tenaga surya. Jadi pemakaian listrik sangat terbatas. Hanya bisa untuk dua lampu pijar saja (selebihnya pakai lilin). Akibatnya  tidak ada TV, kompor listrik, kulkas dan satu lagi, rasanya ini penting banget, tidak bisa mainin smartphone berlama lama! Jika lobet ya tanggung sendiri resikonya. Bye bye internet. *Memble deh*
 
Susah, karena toilet penginapan terpisah dari rumah utama. Dalam hati sempat mikir, bikin kerjaan banget emang ya, apa susahnya sih buat toilet di dalam rumah. Kan lebih praktis dan hemat waktu. Apalagi kalau kondisi halaman masih bersalju. Geerrrrrrr.
Namun kalau mau jujur, gue lumayan terhibur dengan bangunan toilet di penginapan yang masih tergolong baru. Bukan bangunan tua yang cenderung kusam dan ga fresh.
Ketika memasuki toilet, hati gue pun semakin gembira. Ternyata bentuk closetnya sudah modern, bukan closet dengan dudukan papan kayu seperti yang gue sebut di awal tulisan ini. Yang dibawahnya penuh dengan tumpukan karung dan tepung putih. Senang deh pokonya.
Namun kegembiraan gue tadi ternyata ada limitnya. Karena dipastikan, meskipun model closet modern, sistem kerjanya di setting seperti toilet jaman dulu. *mulai deh oyong, ngok..ngok*

Toilet yang terpisah dari rumah utama

Tidak seperti closet biasa, yang jika tombol closet di push, maka air otomatis akan membersihkan Pup, dan kotoran akan mengalir ke Septic Tank.
Berbeda dengan sistem kerja closet di penginapan ini. Ketika tutup closet dibuka, terlihat dua saluran lubang. Satu untuk air seni dan satu lagi untuk pup. Khusus untuk pup, memiliki tutupan sendiri lagi, yang mana tutup ini akan otomatis terbuka ketika kita duduk di closet. Dan letak masing masing lubang juga sudah di design sedemikan pas. Jadi ketika kita duduk, dipastikan  ga mungkin pup  atau air seni masuk ke lubang yang salah. *Jelasin sambil tutup muka*
Kemudian, kotoran pup tertampung di plastik organik yang memiliki bolongan halus, yang sudah dipasang di dalam closet. Jadi tidak ada yang namanya tombol air yang membersihkan kotoran dan membawanya mengalir ke septic tank.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kah aromanya? pasti Bed Smell dong. Dan jawabannya sungguh membuat gue ternganga. Sama sekali tidak!! Ternyata closet mempunyai lubang udara yang setiap waktu memiliki sirkulasi udara yang baru. Entah bagaimana deh kerja sirkulasinya, yang jelas kami bertiga setiap hari nabung di closet itu dan tidak mengeluarkan bau ga sedap. *lagi lagi nutup muka sambil goyang goyang kepala*
Kalau menurut gue, faktor lingkungan sepertinya mempengaruhi juga. Udara  masih dingin dan diselimuti salju, bakteri nyaris sedikit.
 
Tapi gue pribadi tetap merasa geli, suka tersugesti sendiri. Namanya tau ada kotoran berhari di plastik itu. Detail banget ya gue jelasinnya.
Sepertinya ini lah yang menjadi alasan, mengapa toilet tidak digabung di rumah utama. Karena tidak memiliki saluran air dan septic tank tadi. Kurang nyaman kan.
 
Closet dengan plastik organic
 
 
 
 
 
Dan satu lagi, setiap orang yang menginap di penginapan ini, wajib membuang sendiri kotoran di closet yang di tampung dalam plastik organic tadi, dan membuangnya di tempat yang sudah di tentukan. Katanya, alam sendiri yang akan menghilangkan kotoran itu. Seperti kosmos lah. Dan pas gue tanya ke suami, bau ga? Kata dia ga loh. Hemmmm.....apa dia lagi berdustakah?
*Lagi lagi ngakak abis...kalau bisa guling guling...hahahaha*
 
Dan cerita toilet pun belum berakhir sampai di sini, masih ada lagi.
Seperti gue bilang, peralatan di toilet semuanya serba modern. Looks Fresh.
Seperti wastafel, kita boleh cuci tangan sambil ngaca ngaca. Bedanya wastafel tidak memiliki kran air. Jadi tetep......ambil airnya manual.
Tersedia di ember. Tinggal tuangin deh. Sabarrrrr yaaa Len...
 
Wastafel tanpa kran air
Dan puncaknya adalah, ketika gue menyadari, tidak ada tempat mandi di toilet ini. Cuma ada sauna doang.
Lah, jadi gimana mau mandi? Tenang, kalau urusan mandi tergantung kita sendiri. Pilihannya kudu mandi apa ga. Kalau gue sih, emang di rumah pun sudah terbiasa ga mandi, apalagi di musim dingin. Bisa dua hari gue ga mandi, cuma bersih bersih doang. *pengakuan jujur sambil angkat tangan*
Nah, jika ngotot mau mandi juga bisa. Ga masalah. Caranya, masuk ke ruangan sauna, lalu setelah merasa hangat, buru buru deh lari ke danau kecil di sekitar penginapan. Dannnnn......Nyebur. Habis itu, masuk lagi ke dalam sauna.
Ini gaya mandi ala orang Swedia di tempat tempat alam seperti ini. Mau kaya gitu? gue ya ga lah. Apalagi gue ga bisa berenang.
 

Ruangan Sauna
Susah? ya susah lah... karena hal di atas merupakan kebutuhan yang sangat Vital buat gue. Yang ternyata berbanding terbalik dengan suami dan tetangga gue. Apalagi tetangga gue bilang, listrik bukannya tidak ada, ada kok, cuma ya pemakaiannya terbatas. Yang penting bisa nyalain lampu dan ruangan sudah cukup terang. Emang mau buat apa lagi? TV? ga harus lah katanya. Mereka cuma butuh berita terbaru, yang bisa mereka baca di koran yang mereka beli. Air? Ada juga, tinggal ambil doang. HP lobet? ya ga masalah, mereka jarang teleponan juga dan bukan pengguna handphone akut kaya gue. Ga da yang susah kata dia. Semua masih normal. Only for 3 days! bukan seumur hidup tinggal di situ. Hmmmmmm....positif banget ya cara berpikirnya.
Tapi kan gue belum bisa berpikir sepositif itu, didikan mental gue juga uda beda. Emang begitulah mental yang gue miliki. Gue ga mau repot.
Cukup lah gue merasakan kesusahan seperti ini di kala gue Kuliah Kerja Nyata (KKN) di masa kuliah dulu.  Hahahahha.

LISTRIK DI AMBIL DARI TENAGA SURYA
Meskipun demikian, masih ada hal yang bisa gue tolerir. Yang menurut gue bukanlah sesuatu yang sangat menggangu. Artinya gue masih bisa memaklumi. Apalagi jika dihubungkan dengan harga yang harus kami bayar di penginapan ini. Terbilang sangat sangat murah. Cuma 50 SEK permalam. Kebetulan memang penginapan ini milik kantor tempat suami bekerja. Coba bayangin...50 SEK....di Swedia pula...jreng jreng jreng.
 
Penginapan tidak menyediakan handuk, sprei, sarung bantal dan sarung selimut. Apalagi yang namanya sabun dan printilan lainnya. Semua harus dibawa sendiri dari rumah. Layaknya penginapan Hytte khas Norway,  pun rata rata tidak menyediakan bedcover dan sprei. Jadi gue sudah tidak kaget dengan kondisi seperti ini. Kalau tidak mau repot, bisa juga sih tidur begitu saja tanpa sprei dan dan selimut bersarung. Kalau gue sih ga bisa.
 
TEMPAT TIDUR SEADANYA, NO SPREI DAN SARUNG BANTAL

Satu lagi, sebelum check out, kami wajib membersihkan setiap ruangan yang kami pakai. 
Jadi lupakan langsung  melenggang kangkung keluar, layaknya di sebuah hotel pada umumnya. Karena ketika kami datang, penginapan dalam kondisi bersih. Siapa yang membersihkan? ya pengunjung sebelumnya. Demikian juga dengan pengunjung setelah kami, wajib membersihkan. Jika tidak, kita akan di complain habis habisan oleh pengunjung yang baru.
Sama juga, kondisi seperti ini bukan pekerjaan yang berat buat gue. Karena bukan hanya di penginapan ini saja, cottage lain yang pernah kami singgahi, juga membuat aturan yang sama. Tak terkecuali cottage  di resort yang lumayan besar. Karena memang penginapan seperti ini tidak ada pegawai khusus untuk merapikan dan membersihkan.

Untuk urusan memasak, tidak terlalu mengguncang jiwa, karena makanan utama sudah gue siapkan dari rumah untuk stok selama tiga hari. Paling ketika kami datang dan pulang baru makan di restoran. Selebihnya makan masakan yang sudah gue siapkan tadi. Rendang, ayam goreng, pork, dan kebutuhan pelengkap seperti roti, susu, yogurth, buah sampai  snack. Beras baru gue bawa mentah.
Cerita memasak nasi, gue tidak menggunakan rice cooker juga. Tradisional abis. Gue memasak nasi di dalam kastrull atau pan, dengan ukuran air tertentu. Gue tidak begitu pinter memasak nasi dengan cara begini. Karena jaman di keluarga gue pun, sebelum mengenal ricecooker, menggunakan dandang kukusan. 



MAKANAN KAMI, PERHATIKAN NASINYA, MANUAL BANGET YA MASAKNYA....hahahahha
Untuk kompor, penginapan memiliki kompor gas. Tapi tidak seperti kompor gas yang sekali klik otomatis api menyala. Ini gasnya kudu di sulut korek api dulu. Hmmmm....sesuatu banget deh pokonya.
 
Kesimpulan dari kesusahan ini adalah, kalau memang penginapan sengaja dibuat minim fasilitas, dengan tujuan agar bisa merasakan kehidupan jaman dahulu, yang tidak terlalu mudah dan agak susah, maka bisa gue bilang konsepnya berjalan sukses. Sukses membuat susah. Lagi lagi untuk orang yang memiliki mental tempe kaya gue.
 
Tapi percaya atau tidak, ada sisi baiknya loh. Dan gue rasa filosofi ini lah yang sepertinya hendak di rasakan masyarakat Swedia yang menyukai kehidupan seperti dulu. Secara tidak langsung, memang ada perasaan lebih mengerti keadaan. Belajar lebih sabar dan kuat. Mental sedikit terlatih. Suka tidak suka, kamu harus jalani. Memang itu yang tersedia. Hidup sesuai dengan apa yang kita miliki saat itu. Dengan air, listrik dan toilet yang apa adanya, kamu juga ga tewas kan? Tanpa Handphone ternyata kamu bisa hidup juga kan. Tinggal kamu sendiri kuat menjalani apa ga. Mental nya di level mana. 
Belajar menghargai orang orang dulu yang memang hidup dengan segala keterbatasan. Tapi mereka kuat dan bisa sampai di level negara maju seperti saat ini. 

Peralatan Dapur dan kompor gas
Contohnya, ketika kami akan check out, gue kebagian tugas mencucui piring. Di situ lah gue menyadari, ya ampun, betapa memang air sangat vital banget.  Di rumah, memang kebanyakan gue mencuci piring dengan Dishwasher. Tapi ketika membersihkan beras, sayur, buah atau apalah itu, gue sangat menyadari, bagaimana gue memutar air kran. Suka suka gue banget. 
Kadang pas nyuci sayur trus sambil lihat gorengan, air lupa dimatiin.  Intinya, di rumah air melimpah ruah dan sangat mudah gue dapatkan.  Keadaan yang berbanding terbalik ketika gue membersihkan piring di penginapan ini. Benar benar hemat. Gue harus merendam semua peralatan pakai air panas dulu, baru dibilas di satu baskom besar.  Cara ini ampuh untuk membuang air secara mubazir.
Artinya keadaan ini bisa membuat gue hemat air. Kenapa di rumah gue ga bisa terapkan? Pointnya seperti itu deh.
 
Teras Penginapan, jika malam kami pasang lilin di teras ini karena tidak ada lampu teras

 
Jadi bisa gue maklumi, kenapa mereka kadang membuat konsep seperti ini. Bisa merasakan kehidupan yang sedikit susah, membuat kita lebih bisa menghargai alam sekitar.
Artinya, kehidupan yang gampang di jaman sekarang, tidak serta merta terjadi seperti ngebalikin tangan, semua pasti dimulai dari kehidupan yang susah, terbatas, serba manual seperti dahulu kala. Itulah mungkin yang pengen mereka rasakan, tetap menghargai budaya lama itu.
Kalau dipikir, apa sih yang ga bisa dibuat negara semaju Swedia? semua bisa dibuat canggih. Tapi untuk kehidupan tertentu, mereka tetap mencintai budaya lamanya. Makanya tidak heran, masih banyak bertebar summer house di negara ini dengan konsep yang seratus persen jadul.
Penginapan ini sih masih mendingan jika gue harus bandingkan dengan beberapa summer house yang pernah gue lihat. Peralatan dan bangunan masih terbilang modern. Cara kerjanya aja yang masih jadul.

Namun, sekalipun minim fasilitas,  untuk urusan keamanan, penginapan memakai sistem canggih. Pengunjung hanya boleh masuk, dengan memasukkan pasword di tombol mesin yang melekat di pintu masuk.  Gue bilang canggih aja deh. Penginapan kaya gini, di hutan pula, bukan memakai kunci manual atau sistem kartu seperti di hotel yang kadang kadang suka ngadat kalau di gesek.
 
Ketika suami gue nanya, apakah gue bersedia menginap di sana lagi for next winter, gue cuma bilang dalam hati "Siapa Takut".
Minimnya fasilitas vital di penginapan ini tidak ada apa apanya jika harus gue bandingkan dengan pengalaman luar biasa, ketika gue mendapatkan kegembiraan bermain snowscooter di mountain dan di air danau yang membeku. Melihat landscape yang luar biasa indah, serasa alam bener bener menyatu dengan gue. Eaaaaaaaa!
Liburan yang campur aduk, susah dan senangnya ada. Dan tentunya pengalaman yang baru dan seru.
Cerita liburan kami dengan Snowscooter akan gue tulis di tulisan berikutnya. See yaaaa!

 



Salam Dari
Mora, Dalarna, Swedia
 
             

Tidak ada komentar: